Pages

Senin, 04 Juni 2012

Esai

Kata "essay" berasal dari bahasa Prancis, essai, artinya mencoba atau berusaha (a try or attempt). Secara lughawi atau bahasa (Inggris), esai (essay) artinya (1) karangan, esei (sastra) dan (2) skripsi. sedangkan Esai sendiri adalah suatu tulisan yang menggambarkan opini penulis tentang subyek tertentu yang coba dinilainya.


Jenis-Jenis Esai
Sedikitnya ada tiga jenis esai, yakni yang bersifat narastif, deskriptif, dan persuasif.

1. Esai Naratif (Narrative Essays) menceritakan sebuah kisah atau cerita, misalnya tentang pengalaman atau peristiwa masa lalu, kejadian atau peristiwa yang baru saja terjadi/sedang terjadi, bisa juga tentang sesuatu yang terjadi kepada orang lain. Esai Naratif menggambarkan suatu ide dengan cara bertutur. Kejadian yang diceritakan biasanya disajikan sesuai urutan waktu (kronologis).

2. Esai Deskriptif (Descriptive Essays) menggambarkan orang, tempat, atau sesuatu sejelas dan sedetil mungkin sehingga pembaca dengan mudah membentuk “gambar mental” (mental picture) tentang apa yang ditulis. Esai deskriptif biasanya bertujuan menciptakan kesan tentang seseorang, tempat, atau benda.3. Esai Persuasif (Persuasive Essay) meyakinkan pembaca untuk menyetujui sudut pandang penulis tentang sesuatu atau menerima rekomendasi penulisnya untuk melakukan sesuatu. Ringkasnya, esai jenis ketiga ini berisi ajakan atau seruan. Esai ini berusaha mengubah perilaku pembaca atau memotivasi pembaca untuk ikut serta dalam suatu aksi/tindakan (call for action). Esai ini dapat menyatakan suatu emosi atau tampak emosional.



Bagian esai

Sebuah esai dasar bisa dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
Pertama, pendahuluan yang berisi latar belakang informasi yang mengidentifikasi subyek bahasan dan pengantar tentang subyek yang akan dinilai oleh si penulis tersebut.
Kedua, tubuh esai yang menyajikan seluruh informasi tentang subyek.
Ketiga, adalah bagian akhir yang memberikan kesimpulan dengan menyebutkan kembali ide pokok, ringkasan dari tubuh esai, atau menambahkan beberapa observasi tentang subyek yang dinilai oleh si penulis. 



Langkah-langkah pembuatan esai

Jika dipetakan mengenai langkah-langkah membuat esai, bisa dirunut sebagai berikut:

1. Menentukan tema atau topik

2. Membuat outline atau garis besar ide-ide yang akan kita bahas

3. Menuliskan pendapat kita sebagai penulisnya dengan kalimat yang singkat dan jelas

4. Menulis tubuh esai; memulai dengan memilah poin-poin penting yang akan dibahas, kemudian buatlah beberapa subtema pembahasan agar lebih memudahkan pembaca untuk memahami maksud dari gagasan kita sebagai penulisnya, selanjutnya kita harus mengembangkan subtema yang telah kita buat sebelumnya.

5. Membuat paragraf pertama yang sifatnya sebagai pendahuluan. Itu sebabnya, yang akan kita tulis itu harus merupakan alasan atau latar belakang alasan kita menulis esai tersebut.

6. Menuliskan kesimpulan. Ini penting karena untuk membentuk opini pembaca kita harus memberikan kesimpulan pendapat dari gagasan kita sebagai penulisnya. Karena memang tugas penulis esai adalah seperti itu. Berbeda dengan penulis berita di media massa yang seharusnya (memang) bersikap netral.

7. Jangan lupa untuk memberikan sentuhan akhir pada tulisan kita agar pembaca merasa bisa mengambil manfaat dari apa yang kita tulis tersebut dengan mudah dan sistematis sehingga membentuk kerangka berpikir mereka secara utuh.

dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Esai

Contoh Tajuk Rencana


Tajuk Rencana - Sabtu, 02 Jun 2012 00:01 WIB
Memudarnya Pancasila
KEMARIN, 1 Juni, kita memperingati hari lahirnya Pancasila. Penggalinya adalah Prolamator Indonesia, Bung Karno, yang menyampaikannya dalam sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945.
Pancasila menjadi dasar negara kita. Kelima silanya sesuai dengan alam kejiwaan bangsa kita sendiri. "Sudah jelas, kalau kita mau mencari suatu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu haruslah terdiri dari elemen-elemen yang ada jiwa Indonesia," kata Bung Karno.

Sejalan dengan yang dikatakan Ernest Renan bahwa setiap bangsa mempunyai satu jiwa (Une nation, est Une ame), demikian jugalah kita. Pancasila adalah Kepribadian Bangsa Indonesia. Pancasila adalah manifestasi dari kepribadian bangsa ini.

Setelah disampaikan 67 tahun lalu dan dikaitkan dengan kondisi rakyat, bangsa, dan negara kita saat ini, sebuah pertanyaan vital relevan diajukan: masih hidupkah Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita? Lebih tegasnya: masihkah kita berjiwa Pancasilais?

Semestinya, sebagai elemen statis, dia tetap hidup. Sebagai falsafah, dia menjadi pedoman sekaligus tujuan hidup kita sebagai sebuah bangsa. Tidak satupun dari kelima sila itu yang boleh hilang dari kehidupan kita baik dalam kehidupan bermasyarakat, penyelenggaraan pemerintahan, bernegara dan berbangsa yang tidak dijiwai oleh Pancasila.

Namun, kesan saat ini kita sungguh-sungguh berada dalam kondisi krisis kepribadian bangsa atau kehilangan jiwa itu. Nyaris dalam seluruh segi kehidupan kita mengalami dekadensi. Sama sekali menjauh dari Pancasila yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Kita adalah bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi tak jarang, perilaku kita jauh dari sila ini. Bahkan, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sebagian oknum masyarakat, seperti kekerasan yang mengatasnamakan agama dan menurunnya toleransi kehidupan beragama itu, bukan cuma mencederai sila pertama, tapi juga sila-sila berikutnya. Dia mengoyak perikemanusiaan yang adil dan beradab, bahkan potensial mengancam persatuan kita sebagai sebuah bangsa yang untuk merdeka harus diperjuangkan dengan mengorbankan jiwa dan harta generasi pendahulu bangsa.

Ancaman rengkahnya persatuan bangsa itu bukan hanya dari jenis realitas di atas, tapi juga dari kian tidak mengenalnya kita arti berdialog, bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam kehidupan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, kita juga menyaksikan bagaimana kekerasan digunakan untuk memaksakan kehendak kepada yang lain. Bahkan, ancaman atau aksi kekerasan itu tak jarang muncul dari kalangan atau kelompok elite.

Selain itu, praktik penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan serta korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) juga sudah sangat mengancam bangsa ini. Kekayaan negara yang semestinya dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat—sesuai dengan tujuan kita berbangsa dan bernegara sebagaimana disebutkan dalam sila kelima Pancasila—malah justru dicuri dan dinikmati oknum-oknum tak berperikemanusiaan dalam pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Kita harus segera keluar dari kondisi seperti ini! Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus segera kembali mengacu kepada Pancasila sebagai salah satu pilar negara ini. Pancasila harus menjiwai segenap tindakan kita.

Jangan sampai kita terus abai dan menganggap ringan berbagai degradasi perikehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang kita alami. Sebab, dampak paling berat bukan pada saat ini, melainkan dalam beberapa dekade ke depan ketika era globalisasi yang kian mengaburkan berbagai batas wilayah, bahkan ideologi, masuk kian dalam di berbagai lini kehidupan kita.

Kita mengakui, dalam keterpurukan seperti sekarang, upaya ini merupakan usaha maha berat karena sangat kompleks. Tapi, kita tidak boleh menyerah. Tetap terbuka peluang dari segenap sisi kehidupan untuk kembali memulihkan kondisi jiwa, kepribadian bangsa, kita yang oleh sebagian kita sendiri disebut dalam keadaan "sakit".

Upaya perbaikan itu utamanya kita harapkan dari penyelenggara pemerintahan. Mulai dari level tertinggi hingga terendah. Mereka harus menjadi pionir, teladan, ke arah itu. Berlebihan? Tidak! Karena, pada satu sisi, mereka menjadi cerminan dari kondisi jiwa bangsa ini.

Tajuk Rencana

Tajuk rencana adalah artikel pokok dalam surat kabar yang merupakan pandangan redaksi terhadap peristiwa yang sedang menjadi pembicaraan pada saat surat kabar itu diterbitkan. Dalam tajuk rencana biasanya diungkapkan adanya informasi atau masalah aktual, penegasan pentingnya masalah, opini redaksi tentang masalah tersebut, kritik dan saran atas permasalahan, dan harapan redaksi akan peran serta pembaca.
Pernyataan fakta dan opini ini biasanya diutarakan secara singkat, logis, menarik ditinjau dari segi penulisan dengan tujuan untuk mempengaruhi pendapat/ menerjemahkan berita yang menonjol agar pembaca menjadi menyimak seberapa penting berita tersebut. Fungsi tajuk rencana biasanya menjelaskan berita, artinya, dan akibatnya pada masyarakat. Tajuk rencana juga mengisi latar belakang dari kaitan berita tersebut dengan kenyataan sosial dan faktor yang mempengaruhi dengan lebih menyeluruh. Dalam tajuk rencana terkadang juga ada ramalan atau analisis kondisi yang berfungsi untuk mempersiapkan masyarakat akan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, serta meneruskan penilaian moral mengenai berita tersebut.

Fungsi tajuk rencana
Tajuk rencana dalam surat kabar atau majalah mempunyai fungsi:
1.     Sebagai kritik atas ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat
2.     Memberikan wawasan kepada masyarakat atas permasalahan yang sedang hangat terjadi




Ciri-Ciri

  1. Berisi opini redaksi tentang peristiwa yang sedang hangat dibicarakan
  2. Berisi ulasan tentang suatu masalah yang dimuat
  3. Biasanya berskala nasional, berita internasional dapat menjadi tajuk rencana, apabila berita tersebut memberi dampak kepada nasional
  4. Tertuang pikiran subyektif redaksi
Aspek-aspek yang menjadi fokus dalam tajuk utama

1.     Judul
2.     Latar Belakang Masalah
3.     Tokoh
4.     Masalah
5.     Peristiwa yang Disampaikan
6.     Opini Penulis
7.     Saran dan Solusi Permasalahan
8.     Kesimpulan
9.     Sumber Berita
10.  Anggota Redaksi

dikutip dari  http://id.wikipedia.org/wiki/Tajuk_rencana

contoh ESAI

Di bawah payung menara-kembar toleransi, pola-pola hubungan agama dan negara yang lebih konkret bisa dirumuskan 
sesuai dengan ruang dan waktu. Dengan itu bisa dilampaui rumusan sederhana mengenai sekularisasi sebagai 
pemisahan "gereja" dan negara.

Belakangan ini teori sekularisasi kembali ramai diperdebatkan. Sebagian pemain lama, seperti Peter Berger yang 
menyunting Desecularization of the World (1996), mengaku bahwa teori lama mereka salah. Yang lain seperti Steve Bruce 
kukuh dengan pendapat lama. Yang lain lagi semacam José Casanova mengusulkan cara-cara baru dalam melihat 
sekularisasi. Tahun 2006 Hedgehog Review mengeluarkan edisi bagus dengan tema After Secularization. Sayang, isinya 
tak menunjukkan bahwa kita sudah berada di wilayah sesudah-sekularisasi.

Debat itu menghangat terkait dengan peningkatan pengaruh politik gerakan keagamaan: Kristen Kanan di AS, 
fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu di India, dan fundamentalisme Islam di banyak tempat, 
termasuk di Eropa. Gejala ini tak saja mengganggu asumsi pokok teori sekularisasi, tapi juga rumusan lama tentang 
pemisahan gereja dan negara. Inilah momen ketika, meminjam Nancy Rosenblum (2000), kewajiban kewarganegaraan 
makin bergesekan dengan tuntutan iman; ketika orang berusaha menyeimbangkan komitmen keagamaan mereka 
dengan penalaran sekular dalam rumusan Robert Audy (2003).

Kedua perkembangan tersebut bersinergi dalam praktik politik. Teori sekularisasi bisa salah bisa tidak, masih adekuat 
atau tidak. Itu soal riset. Yang pasti, salah satu elemennya, yakni privatisasi agama, kini makin kuat bermetamorfosis ke 
dalam tema diskusi yang juga menghangat: agama dalam ruang publik. Bukankah para aktivis PKS, seperti kolega 
mereka pendukung Partai Demokrasi Kristen di Eropa, adalah warga negara yang aspirasinya wajib didengar?

Dua kubu besar

Sulit bicara memuaskan tentang debat sekularisasi dalam ruang terbatas ini, tapi secara garis besar ada dua kubu besar 
di sana.

Kubu pertama ialah teori sekularisasi klasik. Kita singkat saja dengan TSK.

Rumusan awal TSK diberikan Saint-Simon dan Comte yang memandang bahwa modernitas dan agama tak mungkin 
bersatu. Rumusan kemudian oleh bapak ilmu sosial modern (Marx, Durkheim, dan Weber) yang dengan alasan berbeda 
sama-sama sepakat bahwa era agama akan lewat. Di abad ke-20 teori sekularisasi bercampur dengan teori 
modernisasi: makin modern masyarakat, makin kompleks penataan hidup mereka, makin rasional dan individual mereka, 
dan makin kurang religius mereka.

TSK mengajukan sejumlah bukti. Yang cukup jelas, kita terus menyaksikan ekspansi lembaga-lembaga sekular dalam 
berbagai bidang yang memainkan peran yang dulu dimainkan agama. Para dukun makin kehilangan pasien sebab yang 
disebut terakhir beralih ke dokter, misalnya. Lalu dari jendela awal abad ke-21 ini kita mencatat kepercayaan Kristen 
Ortodoks terus merosot yang sebenarnya dimulai sejak awal abad ke-19.

Dua keberatan diajukan kepada TSK. Pertama menyangkut data: rentang waktu yang dijadikan bukti kurang panjang dan 
umumnya diambil dari sejarah Barat abad ke-20. Lagi pula, apakah betul Kristen Ortodoks merosot. Tidak mungkinkah ia 
sedang mengalami transisi, jadi tak sepenuhnya mati? Kedua menyangkut tafsir atas data. Jika benar klaim TSK bahwa 
sekularisasi diakibatkan modernisasi, kita berharap menemukan korelasi kuat dan langsung antara dimensi-dimensi 
modernisasi (urbanisasi, rasionalisasi, dan seterusnya) dan indikator-indikator sekularisasi (menurunnya partisipasi 
keagamaan) di sepanjang waktu dan tempat. Dari bukti-bukti secara umum, sepertinya kita menemukan korelasi itu. 
Namun, kalau variasi internalnya dilihat lebih jauh, yang ada adalah gambaran lebih kompleks. Bandingkan misalnya 
negara-negara Skandinavia yang amat sekular dengan Belanda yang kurang sekular. Bagaimana hal ini dijelaskan, 
padahal Belanda lebih dulu mengalami modernisasi?

Kubu kedua ialah model ekonomi agama. Kita singkat saja sebagai MEA.

MEA yang diinspirasikan ekonomi neoklasik berargumen bahwa vitalitas agama berhubungan secara positif dengan 
kompetisi agama dan secara negatif dengan regulasi agama. Ringkasnya: bila pasar agama didominasi sedikit 
"perusahaan" (gereja) besar atau banyak diregulasi negara, yang terjadi adalah tumbuhnya "perusahaan" agama yang 
geraknya lamban, "produk" agama yang buruk, dan tingkat "konsumsi" agama yang rendah. Dengan kata lain: stagnasi 
agama. Kata pendukung MEA, kalau ada variasi dalam vitalitas agama, itu tak disebabkan oleh sekularisasi, melainkan 
oleh perubahan-perubahan dalam "ekonomi agama". Kata Stark dan Iannaccone, dua dedengkot MEA, "Teori sekularisasi 
harus kita drop dari diskusi, kita makamkan, dan kita tulis RIP di atas makamnya."

Sejak dasawarsa 1980-an para pendukung MEA mempelajari hubungan antara pluralisme dan vitalitas keagamaan di AS. 
Umumnya mereka menemukan hubungan positif di antara keduanya. Vitalitas ini tak bisa dijelaskan kecuali dengan 
melihat keragaman organisasi-organisasi agama, kompetisi di antara organisasi-organisasi itu, kebebasan beragama, 
dan pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Denominasi-denominasi mainstream yang usianya lebih tua di AS, 
seperti Katolik dan Episcopal, terus ditantang oleh gereja-gereja evangelis yang menuntut lebih banyak energi dan waktu 
dari para penganutnya, tetapi juga menawarkan produk lebih menarik.

Namun, kata lawan mereka, data MEA melulu diangkat dari kasus AS. Dari ranah Eropa, MEA tak bisa menjelaskan 
mengapa kongregasi di beberapa negara di Eropa Selatan seperti Spanyol terus bertahan: monopoli Gereja Katolik tak 
diikuti oleh menurunnya "permintaan" akan agama. MEA dianggap terlalu menekankan aspek-aspek institusional ("pasar 
agama" dan "regulasi agama") yang menawarkan agama, tetapi menyepelekan hasrat individual manusia akan agama. 
Bantahan MEA atas teori sekularisasi dianggap berlebihan: teori itu adalah teori mengenai perubahan sosial- struktural 
dan pengaruhnya terhadap agama, bukan teori mengenai perilaku individual yang menjadi fokus perhatian MEA.

Terobosan baru

Hingga titik ini debat sekularisasi seperti berjalan di tempat. Ada cara pandang Eropa dan AS dalam melihat persoalan ini, 
dan mereka tidak bicara mengenai hal yang sama. TSK mencirikan umumnya sosiologi agama Eropa (kata Casanova: 
menjadi semacam European fait accompli!). MEA banyak berkembang di AS.

Selain itu, kadang para ilmuwan sosial mencampuradukkan deskripsi tentang sekularisasi dengan hasrat mereka untuk 
menjadikannya sesuatu yang normatif. Di sini kita menjumpai tautologi: naiknya fundamentalisme agama dipandang 
hanya sebagai menunjukkan merebaknya perlawanan terhadap modernitas dan gagalnya modernisasi. Di sini teori 
sekularisasi "diselamatkan" dengan menjadikannya sesuatu yang normatif: agar sebuah masyarakat menjadi modern, 
maka ia harus sekular; dan agar ia sekular, masyarakat itu harus menempatkan agama di ruang-ruang yang nonpolitis 
karena aransemen ini esensial bagi masyarakat modern.

Namun, kemandekan diskusi di atas mungkin juga karena sekarang kita makin pintar. Kata José Casanova: "Bukan 
makhluk yang kita teliti yang berubah atau berbeda, tetapi cara kita melihat makhluk itu yang kini makin canggih."

Dari sini muncul sejumlah terobosan. Dalam Sacred and Secular (2004), Pippa Norris dan Ronald Inglehart 
mengeluarkan hasil survei mereka atas 80 masyarakat di dunia, mengenai hubungan antara apa yang mereka sebut 
existential security dengan sekularisasi. Di sini wilayah riset diperlebar, tapi faktor penjelas sekularisasi dipersempit. 
Data-data mereka menunjukkan: kelompok masyarakat dunia yang hidup sehari-hari anggotanya dipengaruhi oleh 
ancaman kemiskinan, penyakit, dan kematian dini tetap religius sebagaimana mereka religius seabad yang lalu. Namun, 
mereka juga mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat. Sebaliknya, di masyarakat-masyarakat yang kaya, bukti-bukti 
yang ada menunjukkan bahwa sekularisasi sudah berlangsung setidaknya sejak pertengahan abad ke-20 (mungkin lebih 
awal), tapi pada saat yang sama, tingkat pertumbuhan penduduk di sana stagnan.

Jika dikombinasikan, catat Norris dan Inglehart, kecenderungan-kecenderungan di atas menunjukkan dua hal penting. 
Pertama, masyarakat-masyarakat yang kaya menjadi makin sekular, tetapi dunia secara keseluruhan makin religius. Ini 
akibat pertumbuhan penduduk yang jomplang.

Pada titik ini mereka sepakat dengan tesis Huntington tentang benturan peradaban. Bedanya, Norris dan Inglehart melihat 
bahwa benturan itu tak mesti berujung pada konflik kekerasan antara kubu yang sakral dan yang sekular. Itu tergantung 
pada sejauh mana kaum fanatik dan demagog di kubu masing-masing berhasil atau tidak dalam memanfaatkan jurang 
yang ada, untuk mengaktualkannya menjadi konflik kekerasan.

Terobosan lain ditawarkan Casanova. Untuk kepentingan analitis, menurut Casanova, penting bagi kita memilah tiga 
unsur dalam teori sekularisasi yang selalu dipandang sebagai bagian esensial dari modernisasi: (1) diferensiasi 
struktural yang terus berlangsung dalam ruang-ruang sosial, yang berakibat pada pemisahan agama dari politik, ekonomi, 
ilmu pengetahuan, dan seterusnya; (2) privatisasi agama; dan (3) merosotnya peran sosial dari keyakinan, komitmen, dan 
lembaga-lembaga keagamaan.

Dari ketiga unsur di atas, kata Casanova, yang sepenuhnya mungkin untuk dikenai sekularisasi terhadapnya hanyalah 
unsur (1) dan (3), sedangkan unsur (2) tidak. Deprivatisasi (lawan privatisasi) tidak serta-merta merupakan penolakan 
atas teori sekularisasi karena hal itu dapat berlangsung dalam cara yang konsisten dengan prasyarat-prasyarat 
masyarakat modern, termasuk sistem politik yang demokratis. Dengan kata lain, soalnya bukanlah apakah agama itu 
pada esensinya bersifat privat atau publik, dan karenanya sesuai atau tidak dengan modernisasi dan Pencerahan, tetapi 
bagaimana agama menjadi publik.

Dimensi publik agama: toleransi kembar

Di sini kita sebenarnya sudah memasuki wilayah debat baru, yaitu mengenai batas-batas "publik" dari agama. Dalam 
pandangan Casanova, jika ekspresi publik agama atau deprivatisasi agama memperkuat bangunan masyarakat sipil 
(seperti di Polandia dan Filipina: Gereja Katolik mendukung demokratisasi) atau turut memajukan debat publik seputar 
nilai-nilai liberal (seperti di AS), maka hal itu sepenuhnya sejalan dengan modernitas. Namun, jika deprivatisasi agama 
menggerogoti masyarakat sipil (seperti di Mesir: kelompok fundamentalis Islam mengancam para pemikir Muslim liberal) 
atau kebebasan individu (seperti di Iran), maka hal itu merupakan pemberontakan terhadap modernitas dan nilai-nilai 
universal Pencerahan.

Di atas saya tengah mencoba menunjukkan penolakan Casanova terhadap identifikasi menyeluruh privatisasi agama 
dengan sekularisasi, bahwa deprivatisasi agama tidak sepenuhnya bertentangan dengan sekularisasi. Namun, ia 
sebenarnya juga sedang bicara mengenai hal lain, yakni bahwa ekspresi publik agama hanya mungkin dilakukan jika 
agama menjunjung tinggi toleransi dan pluralisme. Bagaimana Anda berharap bahwa ekspresi publik agama Anda 
diperbolehkan jika Anda tak membuka kesempatan bagi hal yang sama oleh agama lain?

Soalnya, prosedur Casanova di atas sebenarnya mensyaratkan penerimaan agama bukan saja atas modernitas, tetapi 
juga atas asumsi-asumsi wacana liberal tentang kehidupan dan politik. Artinya, agama harus siap masuk ke dalam ruang 
publik dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka melalui perdebatan yang rasional. Karena argumen publik 
bersifat trans-subyektif, seperti dikatakan John Rawls, maka apa pun yang berasal dari agama tak boleh diistimewakan 
hanya karena ia berasal dari wahyu. Ia hanya dapat diterima setelah terbukti dapat dibela oleh penalaran publik. Hukum 
agama (misalnya: agar ia bisa dibela dan dipraktikkan secara publik) harus terbukti memenuhi prinsip resiprokalitas, 
diterima menurut "nalar publik". Kepada musuh-musuh mereka, kalangan agamawan yang hendak mem-"publik"-kan 
agama mereka harus melakukan persuasi, bukan koersi.

Akhirnya kita harus menyinggung apa yang oleh Alfred Stepan (2001) disebut sebagai menara-kembar toleransi, sebagai 
pola pokok hubungan agama dan negara. Stepan merumuskannya secara negatif: kelompok-kelompok agama tak boleh 
melakukan apa pun yang bisa menghambat kebebasan pemerintahan yang terpilih untuk membuat dan menjalankan 
kebijakan. Demikian juga sebaliknya.

Di mana letak otonomi keduanya?

Untuk negara: lembaga-lembaga agama tak boleh memiliki hak istimewa yang memungkinkan mereka memaksakan 
mandat tertentu kepada pemerintahan terpilih. Pemerintah harus leluasa menentukan dan menjalankan kebijakan.

Untuk agama: individu dan kelompok agama tak saja diberi kebebasan menjalankan ibadah, melainkan juga 
mengedepankan nilai-nilai mereka ke hadapan publik, sejauh hal-hal itu tidak mengganggu kebebasan orang atau 
kelompok lain, atau melanggar prinsip demokrasi dan hukum dengan jalan kekerasan.

Di bawah payung menara-kembar toleransi itu, pola- pola hubungan agama dan negara yang lebih konkret bisa 
dirumuskan sesuai dengan ruang dan waktu dan, karena itu, tidak sakral. Dengannya kita bisa melampaui rumusan 
sederhana mengenai "pemisahan gereja dan negara" yang kadang mengacaukan. Ringkasnya: dimensi publik agama 
tidak boleh segera dicurigai hanya karena ia datang dari agama, sebagaimana ia tidak boleh segera diistimewakan 
dengan alasan yang sama.

Oleh: Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Program Yayasan Paramadina, Jakarta

Sumber: Kompas (Kamis, 31 Mei 2007), http://www.paramadina.or.id/v2/index.php?menu=artikel&opt=detail&id=3