Pages

Senin, 04 Juni 2012

Contoh Tajuk Rencana


Tajuk Rencana - Sabtu, 02 Jun 2012 00:01 WIB
Memudarnya Pancasila
KEMARIN, 1 Juni, kita memperingati hari lahirnya Pancasila. Penggalinya adalah Prolamator Indonesia, Bung Karno, yang menyampaikannya dalam sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945.
Pancasila menjadi dasar negara kita. Kelima silanya sesuai dengan alam kejiwaan bangsa kita sendiri. "Sudah jelas, kalau kita mau mencari suatu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu haruslah terdiri dari elemen-elemen yang ada jiwa Indonesia," kata Bung Karno.

Sejalan dengan yang dikatakan Ernest Renan bahwa setiap bangsa mempunyai satu jiwa (Une nation, est Une ame), demikian jugalah kita. Pancasila adalah Kepribadian Bangsa Indonesia. Pancasila adalah manifestasi dari kepribadian bangsa ini.

Setelah disampaikan 67 tahun lalu dan dikaitkan dengan kondisi rakyat, bangsa, dan negara kita saat ini, sebuah pertanyaan vital relevan diajukan: masih hidupkah Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita? Lebih tegasnya: masihkah kita berjiwa Pancasilais?

Semestinya, sebagai elemen statis, dia tetap hidup. Sebagai falsafah, dia menjadi pedoman sekaligus tujuan hidup kita sebagai sebuah bangsa. Tidak satupun dari kelima sila itu yang boleh hilang dari kehidupan kita baik dalam kehidupan bermasyarakat, penyelenggaraan pemerintahan, bernegara dan berbangsa yang tidak dijiwai oleh Pancasila.

Namun, kesan saat ini kita sungguh-sungguh berada dalam kondisi krisis kepribadian bangsa atau kehilangan jiwa itu. Nyaris dalam seluruh segi kehidupan kita mengalami dekadensi. Sama sekali menjauh dari Pancasila yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Kita adalah bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi tak jarang, perilaku kita jauh dari sila ini. Bahkan, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sebagian oknum masyarakat, seperti kekerasan yang mengatasnamakan agama dan menurunnya toleransi kehidupan beragama itu, bukan cuma mencederai sila pertama, tapi juga sila-sila berikutnya. Dia mengoyak perikemanusiaan yang adil dan beradab, bahkan potensial mengancam persatuan kita sebagai sebuah bangsa yang untuk merdeka harus diperjuangkan dengan mengorbankan jiwa dan harta generasi pendahulu bangsa.

Ancaman rengkahnya persatuan bangsa itu bukan hanya dari jenis realitas di atas, tapi juga dari kian tidak mengenalnya kita arti berdialog, bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam kehidupan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, kita juga menyaksikan bagaimana kekerasan digunakan untuk memaksakan kehendak kepada yang lain. Bahkan, ancaman atau aksi kekerasan itu tak jarang muncul dari kalangan atau kelompok elite.

Selain itu, praktik penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan serta korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) juga sudah sangat mengancam bangsa ini. Kekayaan negara yang semestinya dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat—sesuai dengan tujuan kita berbangsa dan bernegara sebagaimana disebutkan dalam sila kelima Pancasila—malah justru dicuri dan dinikmati oknum-oknum tak berperikemanusiaan dalam pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Kita harus segera keluar dari kondisi seperti ini! Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus segera kembali mengacu kepada Pancasila sebagai salah satu pilar negara ini. Pancasila harus menjiwai segenap tindakan kita.

Jangan sampai kita terus abai dan menganggap ringan berbagai degradasi perikehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang kita alami. Sebab, dampak paling berat bukan pada saat ini, melainkan dalam beberapa dekade ke depan ketika era globalisasi yang kian mengaburkan berbagai batas wilayah, bahkan ideologi, masuk kian dalam di berbagai lini kehidupan kita.

Kita mengakui, dalam keterpurukan seperti sekarang, upaya ini merupakan usaha maha berat karena sangat kompleks. Tapi, kita tidak boleh menyerah. Tetap terbuka peluang dari segenap sisi kehidupan untuk kembali memulihkan kondisi jiwa, kepribadian bangsa, kita yang oleh sebagian kita sendiri disebut dalam keadaan "sakit".

Upaya perbaikan itu utamanya kita harapkan dari penyelenggara pemerintahan. Mulai dari level tertinggi hingga terendah. Mereka harus menjadi pionir, teladan, ke arah itu. Berlebihan? Tidak! Karena, pada satu sisi, mereka menjadi cerminan dari kondisi jiwa bangsa ini.

1 komentar: